Selepas berjalan beberapa saat meninggalkan kamar, barulah teringat lupa membawa pena. Tak tepat benar pena, kalau sesuai artinya dalam kamus daring: alat untuk menulis dengan tinta, dibuat dari baja dsb yang runcing dan belah. Karena pena yang kupunya terbuat dari plastik saja dan tak belah.
Pena itu biasa bertengger dengan gagah di saku kiri baju, di lokasi yang dekat dengan jantung. Benda itu menjadi modal nanti manakala hendak membubuhkan tanda tangan di absen. Agak repot bila benda itu tak ada, tapi bukan persoalan besar. Nanti kau akan tahu kenapa begitu.
Bila petani punya cangkul untuk menggarap sawah dan ladangnya, pemulung punya gancu, polisi punya pistol dan wasit punya peluit. Oya, sebaiknya tak menyandingkan polisi dekat dengan wasit, karena keduanya punya kewenangan yang mirip, makanya suka bersinggungan. Baiklah, kalau begitu ditulis ulang saja: bila wasit punya peluit, petani punya cangkul untuk menggarap sawah dan ladangnya, pemulung punya gancu dan polisi punya pistol. Aha, sekarang terlihat lebih pas, agar dua yang suka bersinggungan itu tak makin bersitegang.
Tiap profesi punya senjata andalannya masing-masing. Wasit tanpa peluit bagaimana ia akan memimpin pertandingan? Petani tanpa cangkul, bagaimana ia akan mencangkul? Lalu, siapa yang bersenjata pena?
Sudah umum diketahui, ialah wartawan yang bersenjatakan pena. Kendati rombongan ini lebih dikenal sebagai kuli tinta, tapi, bukankah tinta itu ada di dalam pena? Tanpa penanya itu, wartawan tak dapat berita, artinya tak bekerja, bisa-bisa itu berarti tak bergaji.
Sebuah pena yang bertengger di saku kiri baju lalu membuatku beda dengan yang lain. Beda dengan polisi yang menenteng pistol, dengan petani yang memanggul cangkul berjalan ke sawah, dst dll. Dan sebuah benda mungil bernama pena itu pun cukup membuatku makin gagah, aku bisa jumawa melintasi pemulung yang menyandang karung besar dan gancunya.
Kesulitan tak membawa pena sebenarnya adalah manakala aku harus membubuhkan absen. Bila pena tak ada, maka absen tak bisa diisi, kedisiplinan terpengaruh dan penilaian akan diriku pun bisa-bisa menurun. Sebutlah aku jadul, tapi memang di pabrik tempatku bekerja ini sistem absen masih dengan pena dan tanda tangan. Walau itu berarti dengan mudah tanda tangan dipalsukan dan kehadiran diwakili sosok yang tak ada, tapi begitulah yang terjadi, mesti diterima. Karena sesungguhnya di bagian paling akhir, adanya tanda tangan di absen tak selalu berbanding lurus dengan kinerja yang ditunjukkan dan hasil kerja.
Keuntungan dari lupa membawa pena tadi ternyata ialah aku akan bertegur sapa dengan temanku. Ini hal yang langka manakala setiap orang membawa masalahnya masing-masing, sibuk dengan perangkat canggih di tangannya dan lebih akrab dengan mereka yang berada di tempat jauh, maka bertegur sapa pun menjadi sesuatu yang istimewa. Kenapa aku bertegur sapa? Yakni karena diriku mesti meminjam pena pada teman lain yang juga mengantri absen. Di bagian awal kubilang, lupa membawa pena bukan persoalan besar. Cuma ada yang kurang, itu saja.
Bagaimana di tempatmu, dengan apa kamu absen? Apakah pena masih berharga untukmu?

{ 0 Kicauan... read them below or add one }
Post a Comment
Tinggalkan jejak di kolom komentar!
Untuk saling bersilaturahmi...
dan bila ada pertanyaan atau saran harap dituliskan!
Berkomentarlah di blog ini dengan cerdas
* Jangan mencantumkan link contoh: http://xxx
Terima kasih atas kunjungannya :)